1. Peristiwa Ledakan yang Mengubah Segalanya
Pada Sabtu malam, 15 Januari 2022, langit di atas Pasifik Selatan berubah menjadi lautan abu dan petir. Gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha‘apai meletus dengan kekuatan dahsyat—ledakan terbesar yang pernah terekam oleh instrumen modern, bahkan melebihi uji coba bom nuklir mana pun. Suara letusan terdengar hingga Alaska, ribuan kilometer jauhnya.
Bagi Sam Vea, warga Tofoa di pulau utama Tongatapu, letusan itu terasa seperti kiamat kecil. Rumah bergetar, tirai jatuh, dan langit berubah kelabu. Namun, tanpa disadari, peristiwa ini bukan hanya menghancurkan alam sekitar—tetapi juga memutus seluruh koneksi internet Tonga ke dunia luar.
2. Negara yang Tiba-tiba Offline Total
Ledakan bawah laut tersebut memutus dua kabel serat optik utama:
- Kabel domestik antara Tongatapu dan Vava‘u (panjang 250 mil).
- Kabel internasional yang menghubungkan Tonga ke Fiji dan dunia (panjang 515 mil).
Arus lumpur panas dan batu menimbun kabel di dasar laut hingga kedalaman 20 meter. Dalam hitungan jam, seluruh Tonga kehilangan akses internet, jaringan telepon, hingga sistem keuangan digital.
“Untuk seminggu penuh, saya tidak tahu apa yang terjadi pada keluarga saya di pulau lain,” kata seorang warga Vava‘u. “Kami pikir Tongatapu telah hancur.”
3. Efek Domino: Ekonomi Lumpuh dan Komunikasi Terhenti
Tanpa internet, segala aktivitas ekonomi berhenti total.
- ATM dan bank tidak bisa beroperasi.
- DHL, ekspor hasil laut, hingga transfer uang dari luar negeri terhenti.
- Remitansi—yang menyumbang 44% PDB Tonga—tidak dapat dikirim.
Negara ini terlempar bukan ke era 1990-an, tetapi ke masa sebelum telegraf: saat berita hanya bisa disampaikan lewat kapal atau pesawat.
Sementara itu, di luar negeri, ilmuwan seperti Dr. Mike Clare di Inggris baru menyadari bahwa grafik trafik internet Tonga “turun setengah dalam 15 menit, lalu hilang sepenuhnya dalam satu jam.”
4. Upaya Putus Asa untuk Terhubung Kembali
Tanpa sarana komunikasi, pemerintah Tonga mencari cara apapun untuk menghubungi dunia luar.
Satu-satunya jalan adalah telepon satelit lama yang sudah tidak aktif sejak 2019.
Keberuntungan datang: perusahaan satelit mengaktifkannya kembali secara darurat.
Selama beberapa hari, koneksi hanya sebesar 120 MBps—cukup untuk keperluan kementerian dan komunikasi penting.
Di pulau Vava‘u, seorang pelaut bernama Roy Neyman menjadi pahlawan lokal. Dengan perangkat satelit Garmin di kapalnya, ia membantu warga mengirim 1.600 pesan ke luar negeri, menjadi “tukang surat digital” di tengah krisis.
5. Pertolongan dari Langit: Starlink dan Perbaikan Kabel
Sebulan setelah bencana, SpaceX menyumbangkan 50 terminal Starlink, memungkinkan internet gratis di beberapa lokasi publik. Mahasiswa, guru, dan pengusaha berbondong-bondong ke titik WiFi, bahkan belajar dari dalam mobil hingga larut malam.
Sementara itu, kapal perbaikan kabel Reliance milik SubCom berlayar dari Papua Nugini untuk memperbaiki kabel bawah laut.
Dengan kedalaman lebih dari 1,5 km, proses penyambungan serat kaca sangat rumit dan memakan waktu lima minggu penuh.
Barulah pada Februari 2022, koneksi internet Tonga pulih.
Namun, pulau-pulau luar seperti Vava‘u baru kembali online 18 bulan kemudian, setelah pemerintah berhasil menambah jaringan cadangan.
6. Pelajaran dari Krisis: Ketergantungan Dunia pada Kabel Laut
Kejadian ini membuka mata dunia.
Ternyata, 95% lalu lintas internet global bergantung pada 550 kabel bawah laut—rentan terhadap bencana alam, kesalahan kapal, hingga sabotase geopolitik.
Eropa menuduh kapal bayangan Rusia dan Tiongkok merusak kabel mereka, sementara Amerika dan Tiongkok saling menghalangi proyek kabel baru.
Kini, perlindungan kabel laut menjadi isu keamanan nasional di banyak negara.
Seperti yang dikatakan Sam Vea, “Satu-satunya cara agar Tonga tidak lumpuh lagi adalah punya dua kabel dengan jalur berbeda. Tapi untuk negara kecil seperti kami, biayanya $16,5 juta—jumlah yang sulit dikumpulkan tanpa bantuan dunia.”
7. Penutup: Dunia yang Terhubung, Namun Rapuh
Kisah Tonga adalah pengingat bahwa dunia digital yang tampak kuat ternyata sangat rapuh.
Hanya satu kabel yang putus, dan seluruh negara bisa kembali ke masa sebelum telekomunikasi modern. Koneksi internet bukan lagi soal kemewahan—melainkan soal kehidupan, ekonomi, dan eksistensi sebuah bangsa.
