Taliban Tutup Akses Internet Nasional, Aktivitas Afghanistan Lumpuh Total

KABUL — Afghanistan mengalami kelumpuhan total setelah pemerintah Taliban memberlakukan pemutusan akses internet dan jaringan telekomunikasi secara nasional selama hampir dua hari, mulai 29 September 2025. Dampaknya terasa luas di berbagai sektor, mulai dari penerbangan, perbankan, pendidikan, hingga komunikasi antarwarga.

Bandara Internasional Kabul menjadi salah satu lokasi yang paling terdampak. Aktivitas penerbangan berhenti sepenuhnya karena sistem komunikasi dan pemantauan penerbangan tidak dapat diakses. Layanan pelacakan penerbangan Flightradar24 mencatat sebagian besar penerbangan berstatus “unknown”, sementara sebagian lainnya dibatalkan.

Sejumlah warga Kabul menggambarkan situasi kota sebagai “sepi dan membingungkan”. Seorang pedagang bernama Najibullah mengatakan, “Kami seperti buta tanpa telepon dan internet. Semua bisnis berhenti. Tidak ada transaksi, tidak ada komunikasi. Semua orang hanya diam di rumah.”

Pemutusan internet ini dilakukan tanpa pemberitahuan resmi, dan hingga kini Taliban belum memberikan alasan yang jelas. Namun, beberapa pejabat provinsi sebelumnya menyebut langkah ini sebagai upaya “menghentikan aktivitas yang tidak bermoral”. Banyak pihak menilai keputusan tersebut merupakan bagian dari kebijakan represif Taliban yang semakin membatasi kebebasan individu dan informasi publik.

Dampaknya terasa parah di sektor ekonomi. Aktivitas perbankan lumpuh, transaksi digital berhenti, dan para pelaku bisnis tidak dapat menghubungi pemasok maupun pelanggan. “Kami hanya bisa melakukan 5% dari pekerjaan biasa,” kata seorang pengusaha di Kandahar kepada Radio Azadi. Di pasar uang Kabul, pedagang valuta asing tidak dapat mengetahui kurs harian karena tidak ada koneksi internet.

Bagi perempuan Afghanistan, situasi ini menjadi pukulan berat. Setelah hak mereka untuk bekerja dan belajar dibatasi, kini akses ke pendidikan daring juga terputus. Seorang mahasiswi di Herat mengatakan kepada RFE/RL, “Selama dua hari itu, rasanya seperti kami sedang dicekik. Internet adalah satu-satunya harapan kami untuk tetap belajar dan terhubung dengan dunia luar.”

Organisasi internasional, termasuk PBB dan Human Rights Watch, mengecam keras pemadaman ini. Dalam pernyataannya, Misi PBB di Afghanistan menyebut bahwa pemutusan akses komunikasi “telah memutus hubungan Afghanistan dari dunia luar dan berisiko menimbulkan kerusakan besar terhadap stabilitas ekonomi serta memperburuk krisis kemanusiaan”.

Selama pemadaman berlangsung, ribuan warga Afghanistan di luar negeri kehilangan kontak dengan keluarga mereka. Sejumlah warga mencoba mencari sinyal di perbatasan Pakistan untuk bisa berkomunikasi. Beberapa bahkan berupaya menggunakan Starlink untuk mendapatkan akses internet alternatif, meski berisiko tinggi jika diketahui pihak berwenang.

Setelah hampir 48 jam “gelap total”, koneksi internet dan telepon akhirnya dipulihkan pada 1 Oktober 2025. Kabar ini disambut dengan kelegaan dan air mata oleh jutaan warga. “Saya langsung menelepon anak saya di Amerika melalui WhatsApp. Kami berdua menangis karena tiga hari tidak bisa saling mendengar kabar,” kata Fawzia Rahimi, seorang ibu rumah tangga di Kabul.

Namun, di balik rasa lega, muncul kemarahan dan ketakutan bahwa peristiwa serupa bisa terjadi lagi kapan saja. Banyak warga menilai Taliban menggunakan pemadaman ini sebagai uji coba untuk mengukur sejauh mana mereka dapat mengendalikan arus informasi dan membungkam suara rakyat.

Seorang aktivis perempuan di Kabul menulis di media sosial setelah internet kembali menyala: “Kami mungkin tidak punya senjata, tapi kami masih punya suara. Dan mereka tahu itu sebabnya mereka mencoba mematikan kami.”